RADEN ADJENG KARTINI
07.04
Sejarah Singkat R.A. Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah seorang putri Raden
Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua
saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah
keturunan keluarga yangcerdas. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal
di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai
belajar sendiri dan timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi,
dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada
pada status sosial yang rendah.Kartini melihat perjuangan wanita agar
memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan
yang lebih luas. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati
Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan
Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di
sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah
bangunan yang kini digunakan sebagaiGedungPramuka.
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini diSemarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di eraglobalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Jadi, sebagai pelajar marilah kita teruskan perjuangan RA Kartini dengan cara belajar yang tekun.
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini diSemarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di eraglobalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Jadi, sebagai pelajar marilah kita teruskan perjuangan RA Kartini dengan cara belajar yang tekun.
Raden Adjeng Kartini, lahir di Jepara Jawa Tengah tanggal
21 April 1879. Atau lebih tepatnya ia dipanggil dengan nama Raden Ayu Kartini,
karena pada dasarnyagelar Raden Adjeng hanya berlaku ketika belum menikah,
sedangkan Raden Ayu adalah gelar untuk wanita bangsawan yang menikah dengan
pria bangsawan dari keturunan generasi kedua hingga ke delapan dari seorang
raja Jawa yang pernah memerintah. Kartini sendiri menikah dengan bupati
Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada tanggal 12 November
1903 yang telah mempunyai tiga istri. Dari pernikahannya tersebut ia
dikaruniahi seorang anak perempuan bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir
pada tanggal 13 September 1904.
R.A. Kartini lahir dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yakni
bupati Jepara dengan M.A. Ngasirah. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara
kandung dan tiri. Dan dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak
perempuan tertua.
Oleh karena orang tuanya termasuk orang penting dalam pemerintahan, Kartini
sempat diberikan kebebasan untuk mengenyam pendidikan yang lebih dibandingkan
perempuan lainnya. Ia bersekolah di ELS (Europese Lagere School)
walaupun hanya sampai berumur 12 tahun. Disanalah antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda.
Dengan keterampilannya berbahasa Belanda, Kartini mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda. Disitulah ia
mencurahkan segala unek-uneknya tentang ketidakadilan yang
dirasakannya akan beberapa hal yang ia anggap memojokkan wanita pada waktu itu.
17 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 25
tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang
21 April 1879 merupakan tanggal yang
bersejarah, ditanggal tersebut lahir seorang bayi yang telah menjadi inspirator
bagi perempuan sekarang untuk terus maju berjuang. Ya, ditanggal tersebut
terlahir dari dari rahim M.A. Ngasirah seorang anak perempuan dengan nama
Kartini. Dan singkat cerita akhirnya pada tanggal 2 Mei 1964 dengan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 108 menganugerahi Kartini
gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Serta menjadikan tanggal 21 April sebagai
hari Kartini.
R.A. Kartini dianugerahi gelar tersebut
bukan karena sebab. Menurut referensi yang saya baca hal tersebut
dikarenakan atas pemikirannya yang luar biasa. Yakni atas pemikirannya mengenai
ketertindasan yang dialami kaum perempuan pada jaman dahulu dari berbagai
aspek.. Ia banyak menyampaikan pemikiran tersebut dengan saling mengirim surat
dengan teman-temannya yang berrasal dari Belanda.
Dalam postingan kali ini, saya akan sedikit
menyulik beberapa penggal surat Kartini yang saya ambil dari situs
kompasiana.com, dengan url lengkap dibawah ini :
http://sosok.kompasiana.com/2012/04/20/mengenal-dan-memahami-pemikiran-ibu-kita-kartini-melalui-tulisan-tulisannya-456880.html
Berikut ini beberapa penggalan surat R.A. Kartini
dalam buku Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau dalam terjemahan bahasa
Indonesianya Habis Gelap terbitlah Terang :
“… dan kami yakin seyakin-yakinnya
bahwa air mata kami, yang
kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar
menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.” (Surat R.A.
Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902-DDTL, hal. 214)
“… andaikata aku jatuh di
tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalannya
telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada
kemerdekaan dan kebebasan Wanita Jawa (*baca: wanita Indonesia)” - DDTL halaman
81
“Aku masih melihat senyumnya yang membuat
raut mukanya bercahaya ketika ia berkata: “Ah, ibu, aku mau hidup 100 tahun.
Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali menunggu. Dan sekarang aku
bahkan belum boleh memulai.” (R.A. Kartini kepada Nyonya Marie
Ovink-Soer, yang sudah dianggap ibu oleh Kartini, sebagaimana ditulis Nyonya
Marie dalam bukunya: Persoonlijke Herinnering aan R.A. Kartini)
“Teman-teman saya di sini mengatakan
agar sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau kami bangun nanti, kami
baru akan tiba pada jaman yang baik. Jawa (*baca: Indonesia) pada saat itu
sudah begitu majunya kami temukan, seperti apa yang selalu kami
inginkan.” (Surat R.A. Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
Tentang Kartini setelah dipingit
“Gadis itu kini telah berusia 12,5 tahun.
Waktu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak.
Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat dimana ia ingin terus tinggal.
Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di tengah mana ia selalu ingin terus
berada.
Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu
sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah tertutup
baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah mengucap kata perpisahan yang
begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang menjabat tangannya erat-erat
dengan air mata berlinangan.
Dengan menangis-nangis ia memohon kepada
ayahnya agar diijinkan untuk turut bersama abang-abangnya meneruskan sekolah ke
HBS di Semarang. Ia berjanji akan
belajar sekuat tenaga agar tidak mengecewakan orang tuanya. Ia berlutut dan
menatap wajah ayahnya. Dengan berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang
kemudian dengan penuh kasih sayang membelai
rambutnya yang hitam.
‘Tidak!’ jawab ayahnya lirih dan tegas.
Ia terperanjat. Ia tahu apa arti ‘tidak’ dari ayahnya.
Ia berlari. Ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri
dengan kesedihannya.
Dan menangis tak berkeputusan.
Telah berlalu! Semuanya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di
belakangnya dan rumah ayah menerimanya dengan penuh kasih sayang. Rumah itu
besar. Halamannya pun luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang
mengelilinginya.”
Tentang Kartini menyuarakan nuraninya yang merujit terhimpit kungkungan
tembok pingitan
“Sahabat-sahabat ayah yang berbangsa
Eropah - ini saya ketahui lama kemudian - telah dengan susah payah mencoba
mempengaruhi orang tuaku agar mengubah keputusannya untuk memingit aku yang
begitu muda dan begitu penuh gairah hidup ini. Tapi orang tuaku tetap teguh
dengan keputusannya. Dan aku tetap dalam kurunganku. Empat tahun yang panjang
telah kutempuh dalam kungkungan empat tembok yang tebal tanpa sedikit pun
melihat dunia luar. Bagaimana aku dapat melaluinya,
aku tak tahu lagi. Aku hanya tahu bahwa itu MENGERIKAN.”
“Ketahuilah bahwa adat negeri kami
melarang keras gadis2 keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun lalu saya
ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah
seorang diri sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke
dunia itu lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang laki-laki yang
asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan
dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.” (Surat Kartini kepada
Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah
dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai
cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau
besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang
dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak
perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa
saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku
harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan
memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu
kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau
ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup.
Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil
beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan
seperti ini dipertahankan, Stella?”
(surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
(surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Mengapa kami ditindas? Itu membuat kami
memberontak. Mengapa kami harus mundur? Mengapa sayap kami harus dipotong? Tak
lain karena tuduhan dan fitnah orang-orang kerdil yang berpandangan picik.
Untuk memuaskan orang-orang macam itulah kami harus melepaskan cita-cita kami.
Andaikan betul-betul perlu, benar-benar tidak dapat dielakkan, kami akan
tunduk. Namun kenyataannya tidak demikian. Segala-galanya berkisar pada
pendapat umum. Semua harus dikorbankan untuk itu. Dikatakan: Orang akan bilang
ini atau bilang itu, kalau kami lakukan apa yang kami lakukan dengan seluruh
jiwa kami. Dan siapakah orang-orang itu? Dan untuk orang-orang macam itu kami
harus menekan keinginan kami, harus membunuh cita-cita kami, dan mundur kembali
ke alam gelap.” (Kartini, 1901)
“Lalu akan saya robohkan rintangan-rintangan
yang dengan bodoh telah dibangun untuk memisahkan kedua jenis. Saya yakin,
kalau ini sudah terlaksana, akan banyak manfaatnya, terutama untuk pria. Saya
tidak percaya bahwa pria yang berpendidikan dan mempunyai sopan santun akan
sengaja menghindari pergaulan dengan wanita-wanita yang berpendidikan dan
berpandangan setaraf dengan mereka…”
Tentang Ibu Pertiwi
“Dalam kebudayaan kita sering
disebut-sebut Ibu Pertiwi. Bagi saya Ibu Pertiwi bukanlah suatu dewi. Tetapi
apabila kita hendak melambangkan sumber kekuatan dari perlambang itu, marilah
kita memandang sumber-sumber yang nyata, yang kongkrit, dalam diri
beratus-ratus, beribu-ribu ibu, yang dengan penuh ketekunan mengasuh, menjaga,
dan memungkinkan kita memberikan darma bakti kepada nusa dan bangsa, kepada
tanah air yang kita cintai bersama
Ibuku berlalu setelah melaksanakan
sumbangsihnya sampai sudah lanjut umurnya. Berlalu dengan mewariskan kemesraan
dan kecintaan. Berlalu dengan meninggalkan pesan.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kami banggakan kesederhanaan Ibu, yang
tetap berhasil menciptakan tazim kami dengan cara beliau sendiri, sehingga
dengan keyakinan kami masing-masing yang beliau selalu hormati, kami mempunyai
keleluasaan untuk berbakti. Inilah kekuatan dan kekayaan yang kiranya subur di
tanah air kita yang sama-sama kita bina dan jaga.
Kesederhanaan saya tonjolkan, karena
pesan yang dapat diambil ialah: Dengan kesempatan dan perlengkapan kita yang
lebih banyak daripada yang dimiliki Ibu, maka diharapkan dari kita semua
peningkatan dari apa yang dicapai oleh beliau.”(R.A. Kartini)
Tentang Peranan Wanita sebagai Pendidik
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa
wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat.
Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau
boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam
sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.
Sebagai seorang ibu, wanita merupakan
pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak
pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal
pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”
“Tangan ibulah yang dapat meletakkan
dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang
nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak
begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu
ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak
berpendidikan?”
“Hanya sekolah saja tidak dapat
memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga.
Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah yang seharusnya datang kekuatan
mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat memberikan pengaruhnya
siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja…”
“Binalah mereka (putri2 bangsawan)
menjadi ibu2 yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan giat menyebarkan
kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat
mereka akan menjadi ibu2 yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan
berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala
bidang.” (Berikanlah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia - Nota R.A.
Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar.)
Tentang Emansipasi
“Akan datang juga kiranya keadaan baru
dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh orang lain,
kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah
ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9 Januari 1901)
“Bukan hanya suara dari luar saja, suara
yang datang dari Eropah yang beradab, yang hidup kembali itu, yang datang masuk
ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya ingin supaya keadaan yang sekarang ini
berubah. Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata EMANSIPATIE belum ada
bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta karangan dan kitab tentang
pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu
keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. Keadaan sekeliling saya memilukan
hati, menerbitkan air mata karena sedih yang tidak terkatakan, keadaan itulah
yang membangunkan keinginan hati saya itu. Dan karena suara yang datang dari
luar yang tiada putus-putusnya sampai kepada saya, keras makin keras jua, maka
bibit yang ada dalam hati saya, yaitu perasaan yang merasakan duka nestapa
orang lain yang amat saya kasihi, tumbuhlah, sampai berurat berakar, hidup
subur serta dengan rindangnya.” (s.d.a, 25 Mei 1899)
Tentang pergolakan batin dan semangat
“Siapa yang melihat atau menduga
dahsyatnya pergolakan yang menggelora dalam batin gadis remaja ini? Tidak ada
seorangpun yang dapat menduganya. Ia menderita seorang diri. Tidak ada orang
tua atau saudara yang menduga apa yang bergolak dalam hatinya, dan memberi
simpatinya kepadanya. Dimanakah ia akan dapat meletakkan kepalanya yang capek
ini dan melepaskan tangis kesedihannya?”
“Memang suatu pekerjaan yang seolah-olah
tak mungkin dapat dikerjakan! Tetapi siapa tidak berani, takkan menang! Itulah
semboyanku. Maka ayo maju! Bertekad saja untuk mencoba semua! Siapa nekad,
mendapat tiga perempat dari dunia!”
Tentang para pelopor zaman
“Pada jaman manapun dan dalam bidang
apapun, kaum pelopor selalu
mengalami rintangan-rintangan hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa
nikmatnya memiliki suatu cita-cita. Suatu panggilan. Katakanlah kami ini
orang-orang gila… Atau apa saja… Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami
tidak berhak untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti.
Keningratan membawa kewajiban.” (Kartini, awal 1900)
Tentang Cita-cita Menjadi Guru
“Karena saya yakin sedalam-dalamnya
bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat, maka tidak ada
yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, supaya kelak dapat mendidik
gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali menuntun
anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan pikiran mereka yang muda,
membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan, supaya mereka kelak dapat
meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita pasti bahagia kalau
wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik… Di dunia wanita kita terdapat
banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya saksikan waktu saya masih
kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya membawa arus yang tidak
mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.” (Kartini, 1901)
“Kami sekali-kali tidak ingin membuat
murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropah atau orang Jawa-Eropah.
Dengan pendidikan bebas kami bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa menjadi
orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat terhadap nusa
bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan serta kebutuhannya.
Kami hendak memberikan kepada mereka segala yang baik dari kebudayaan Eropah,
bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan mereka sendiri, melainkan untuk
menyempurnakannya.”
Tentang Ningrat dan Kebangsawanan
“Sebelum kau menanyakan, aku tidak
pernah memikirkan bahwa aku, seperti katamu, adalah keturunan ningrat tinggi.
Apakah aku seorang putri raja? Bukan. Raja terakhir yang menurunkan kami,
mungkin sudah 25 turunan yang lalu. Ibuku masih berhubungan dekat dengan
raja-raja Madura. Buyut beliau masih memerintah sebagai raja dan neneknya
adalah puteri yang berhak menggantikan raja. Bagiku hanya ada dua jenis kebangsawanan:
kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan budi (perasaan). Menurut perasaanku
tidak ada yang lebih gila dan menggelikan daripada orang-orang yang
membanggakan keturunannya. apakah sebenarnya jasanya dilahirkan sebagai seorang
bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini aku tidak dapat menangkapnya…”
“Apa gunanya kaum ningrat yang dijunjung
tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh Pemerintah untuk
memerintah rakyat? Sampai sekarang tidak ada, atau sangat sedikit, yang
menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak merugikan - kalau kaum ningrat
menyalahgunakan kekuasaannya. Ini tidak jarang terjadi. Keadaan demikian itu
harus berubah. Kaum ningrat harus pantas untuk bisa dijadikan pujaan rakyat;
sehingga akan banyak mafaatnya untuk rakyat. Pemerintah harus membawa kaum
ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah memberi PENDIDIKAN yang
mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada pengembangan intelektuil,
melainkan terutama pada pembinaan watak… Banyak sekali contoh yang membuktikan
bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama sekali bukan jaminan akan adanya
keagungan moral.”
Tentang Kepedulian Kartini pada rakyatnya
“Tak setetes pun hujan turun dalam tiga
minggu ini. Panasnya luar biasa terik. Kami tak pernah mengalami sepanas ini. Bahkan
tidak pada musim kemarau yang terkering pun.
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ngeri! Kami semua tak berdaya. Betapa
sedihnya melihat bibit yang ditanam menyoklat dan layu. Dan kami tak dapat
berbuat apa-apa. Manusia tak bisa membuat air.
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
“Karena musim panas yang berkepanjangan
ini, hampir seluruh panen gagal di daerah ini. Daerah sekitar Grobogan paling
menderita di mana bencana kelaparan mulai merajalela. Di Demak, di mana 26 ribu
bahu sawah gagal dipanen, serangan kolera telah pula mengganas. Sementara
orang-orang dengan cemas menunggu datangnya musim hujan yang akan membanjiri daerah
ini. Sungguh tanah yang malang! Pada musim kemarau ia gersang dan pada musim
hujan ia kebanjiran.”(Surat Kartini kepada Stella)
Tentang Kebanggaan Kartini atas kerajinan dan kesenian rakyatnya
“Hura! Untuk kesenian dan kerajinan
rakyat kami! Hari depannya sudah pasti akan cemerlang. Aku sulit untuk
mengatakan betapa girang, terima kasih dan beruntungnya kami di sini.
Kami sangat bangga atas rakyat kami.
Mereka yang kurang dikenal dan karena itu juga kurang dihargai. Hari depan kaum
seniman Jepara sekarang sudah terjamin. Tuan Zimmerman tak habis-habisnya
memuji hasil karya para seniman rakyat berkulit coklat yang sering dihina ini.
Para pengrajin kami di sini baru saja mendapat pesanan besar dari Oost en West
untuk perayaan hari Sinterklaas.
Kami menikmati anugerah ini. Kini
seniman-seniman yang cakap itu dapat menuangkan gagasan-gagasan mereka yang
indah. Gagasan yang puitis pun dapat terjelma dalam bentuk-bentuk yang indah,
garis-garis yang ramping, mengombak dan melenggok dalam warna-warna cemerlang.” (Surat Kartini kepada
E.C. Abendanon, anak dari Mr. J.H. Abendanon)
Tentang kecintaan Kartini menjadi bagian dari rakyatnya
“Untuk pertama kali namaku disebut di
muka umum bersama rakyatku. Di situlah tempat namaku seterusnya. Aku bangga
Stella, bahwa namaku disebut senafas dengan rakyatku!”
Tentang kesadarannya akan adanya Tuhan
“… Banyak sekali kejadian pada waktu
akhir2 ini menunjukkan bahwa manusia hanya menimbang2. Tuhanlah yang akhirnya
menetapkan. Semua itu merupakan peringatan kepada kita semua yang berpandangan
picik supaya kita jangan sombong: jangan mengira bahwa kita mempunyai ‘kemauan
sendiri’. ada suatu Kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada semua
kekuasaan di dunia. Ada Kemauan yang lebih kuat dan lebih kuasa daipada semua
kemauan manusia dijadikan satu. Celakalah orang yang membusungkan dadanya dan
mengira bahwa kemauannya adalah sekuat baja! Hanya ada satu kemauan yang boleh
dan harus kita miliki, yaitu kemauan untuk mengabdi kepada Kebaikan!… Sekarang
kami memegang erat tangan Dia. Dia-lah yang mengarahkan kami, menilai dengan
penuh kasih sayang… Di situ GELAP MENJADI TERANG, taufan menjadi angin tenang.
Sebetulnya semua di sekitar kami masih sama saja, tetapi bagi kami telah tidak
sama lagi. Telah terjadi perubahan dai dalam kami yang menyinari segala2nya
dengan cahaya-Nya. Kami merasa tenang dan damai dalam jiwa kami… Kami selalu
memohon agar diberi kekuatan untuk memikul baik duka maupun suka. Terutama
dalam suka, sebab dalam bersuka ria terdapat godaan… Kami tak dapat mengatakan
betapa besar terima kasih kami bahwa kami telah berkenalan dengan Nyonya van
Kol…”
“… Tahukah kau siapa yang membuka tabir
di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol. Tetapi yang sekarg menuntun kami
untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh bodoh kami ini. Sepanjang hidup kami
memiliki mutiara segunung di samping kami, tetapi kami tidak melihatnya, tidak
mengetahuinya. Sungguh, betul2 bodoh dan sok tahu kami ini. Dan kau sekarang
tak dapat membayangkan betapa bahagia Ibu dan para sesepuh lainnya, melihat
perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata celaan keluar dari mulut mereka.
Hanya: ‘Tuhan baru sekarang berkenan membuka hati kalian.
Bersyukurlah!’”. (Surat Kartini kepada anak Abendanon)
Tentang Angan-angan Kartini
“… Semoga melalui banyak sekali
penderitaan dan kesedihan, kami berhasil menciptakan sesuatu. Bagi rakyat kami.
Terutama yang bermanfaat bagi kaum wanita kami - bagaimanapun kecilnya.
Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga penderitaan dan perjuangan kami
berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap keadaan-keadaan yang perlu
diperbaiki. Dan andaikata itu pun tidak dapat kami capai, wahai, setidaknya
kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar bahwa air mata kami,
yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang
kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi
mendatang.”
SELAMAT HARI KARTINI SEMUA KALANGAN , UTAMANYA UNTUK KAUM WANITA SEMUA
SELAMAT HARI KARTINI SEMUA KALANGAN , UTAMANYA UNTUK KAUM WANITA SEMUA
inilah sosok Kartini ku yang sampai saat ini membuat ku terinspirasikan... umi ku.. selamat hari kartini umi tersayang
"jadilah
sosok kartini yang sesungguhya untuk selalu teguh dalam pendirian, kuat
dalam menghadapi rntangan dan tetap Anggun pada kodratnya"
1
istiqomah 1000 karomah bismillah ...